Jakarta – Kelompok minoritas seksual di Korea Selatan (Korsel) masih berjuang untuk diterima di tengah masyarakat yang masih konservatif dan dipengaruhi oleh pemikiran Konfusianisme.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar warga Korsel tidak ingin hidup berdampingan dengan siapa pun yang diidentifikasi sebagai kelompok LGBTQ+. Hal itu juga sejalan dengan tindakan pemerintah Seoul yang baru-baru ini menutup sebuah festival budaya Queer.
“Masyarakat Korea ini cukup unik karena meskipun negara ini punya ekonomi yang berkembang dengan pesat setelah Perang Korea, nilai spiritual bangsa, dan terutama persepsi terhadap nilai seksualitas masih tertinggal jauh di belakang,” kata seorang lesbian berusia 35 tahun, Jung Cueri, yang tinggal di Seoul dan terlibat dalam penyelenggaraan Festival Budaya Queer tahunan di Seoul.
Jung meyakini bahwa bantuan pascaperang dari Amerika Serikat telah membantu perekonomian dan membuat warga Korea dari generasi tersebut iri dengan negara-negara maju, sehingga meminggirkan nilai-nilai seperti keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia (HAM), dan konsep kewajaran di antara warga negara.
“Dalam proses tersebut, hak kaum slot online 777 minoritas seperti perempuan, penyandang disabilitas dan orang asing, menjadi kurang penting,” ujar Jung kepada DW.
“Dan sebagai dampaknya, bukan rahasia lagi kalau konflik gender terjadi di masyarakat Korea saat ini, dan hal yang sama juga terjadi dalam isu LGBTQ+,” tambahnya.
“Toleransi warga Korsel terhadap LGBTQ+ masih rendah”
Jung juga mengatakan kalau toleransi terhadap kelompok LGBTQ+ masih “sangat rendah” di Korea Selatan. Menurutnya, alasannya karena “konservatisme seksual, serangan balik terhadap kesetaraan gender dan kurangnya rasa hormat terhadap perbedaan.” Dan bukti terbaru cenderung mendukung kesimpulan tersebut.
Sebuah survei tahunan yang dilakukan oleh Institut Administrasi Publik Korea (Korea Institute of Public Administration), yang dirilis pada tanggal 19 Maret lalu, mengindikasikan bahwa orang Korea menjadi lebih terbuka terhadap orang asing. Hanya 7,2% yang menentang warga negara asing untuk menetap di negara ini, jumlah ini turun 2,8% dari tahun sebelumnya.
Hanya saja, kelompok minoritas seksual jauh lebih tidak diterima, dengan lebih dari 52% orang Korea menentang untuk tinggal berdekatan dengan anggota kelompok LGBTQ+. Perbandingan lainnya, 84% dengan senang hati menyambut para pembelot dari Korea Utara ke dalam komunitas mereka, dan 97% dapat tinggal di antara orang-orang dengan disabilitas mental atau fisik.
Satu-satunya kelompok orang yang kurang diterima selain minoritas seksual adalah mantan narapidana. Studi menunjukkan 72% orang Korea tidak menginginkan mereka berada di lingkungan atau tempat kerja mereka.
“Bagi saya, ini adalah warisan masa lalu Konfusianisme Korea, dan meskipun periode sejarah kita sudah lama berlalu, banyak dari sikap tersebut masih kuat dalam masyarakat kita saat ini,” kata seorang profesor studi internasional di Universitas Nasional Kongju, Lim Eun-Jung.
“Secara umum, generasi yang lebih tua di sini merasa sulit untuk memahami konsep minoritas seksual, dan hal ini disebabkan oleh pola asuh tradisional dan konservatif serta agama yang mereka anut,” jelasnya.
“Ada kelompok-kelompok minoritas lain yang selama bertahun-tahun kurang terwakili di banyak bagian masyarakat kita, contohnya perempuan, imigran, penyandang disabilitas, tetapi saya merasa hal tersebut telah berubah akhir-akhir ini,” ujarnya. “Saya berharap hal yang sama juga bisa terjadi pada minoritas seksual.”