KOTA JAYAPURA – Lebih berasal dari 50 tahun menjadi anggota berasal dari Indonesia, Papua kelanjutannya menjadi menggeliat. Tujuan wisatanya menjadi diminati. Sosok-sosoknya pun menjadi mendapat daerah di pemerintahan, apalagi juga di dunia hiburan.

Buktinya, keliru satu parodi asli Papua sampai dibuatkan film sendiri di bioskop. Epen Cupen, film yang mengangkat keluguan Papua tayang di bioskop menjadi hari ini, Rabu (13/5). Padahal awalannya itu cuma karya amatir di YouTube.

Belum mengetahui akan bagaimana kiprah Epen Cupen di layar lebar. Yang jelas, kala dipajang di YouTube, penontonnya meraih jutaan orang. Mereka menikmati keluguan masyarakat Papua yang diparodikan dan dibungkus dengan seni.

Fenomena Epen Cupen memicu kita menjadi mesti menengok ke belakang. Bagaimana muka spaceman slot Papua di perfilman kita sebenarnya? Dari tahun 1970-an, ternyata baru tujuh film yang mengangkat kampung halaman burung cendrawasih nan indah itu.

Merangkum bermacam sumber, berikut delapan (8) film kita yang bangga berlatar tanah Papua.

Sesuatu yang Indah (1976)
Win Umboh berikan warna baru bagi perfilman Indonesia tahun 1976, kala memicu Sesuatu yang Indah. Di awal film, ia cuma menyuguhkan gambar aktivitas dua tokoh utamanya, Johanes (Roy Marten) dan Leo Mokodompis (Fadly).

Kedua kakak beradik itu bekerja sebagai pilot. Di siang hari mereka sibuk, di malam hari istirahat, sering kadang bermain perempuan. Cerita kelanjutannya dimulai kala Leo menentukan menikah dengan Ningrum (Marini), mantan pacar Jo.

Sementara Jo, terlibat cinta dengan Anna (Christine Hakim), seorang gadis diskotek. Kisah cinta mereka tak berujung kala Leo meninggal, dan Jo minta ditugaskan ke Papua karena sangat terpukul. Di sana ia kecelakaan, dan ditolong seorang gadis lokal eksotis.

Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2003)
Terinspirasi cerita pendek Sang Mahasiswa dan Sang Wanita yang ditulis Laslo Kamondy, film ini dirilis tahun 2003. Ceritanya mengenai seorang remaja Papua bernama Arnold (Octavianus R. Muabuay) yang mengagumi kecantikan seorang gadis (Lulu Tobing).

Keduanya pertama bertemu di dermaga Papua. Arnold yang merupakan anak berasal dari seorang aktivis pergerakan di Papua, tetap ikuti semua aktivitas si gadis. Sahabatnya, Sonya (Sonya S. Baransano) sampai cemburu dibuatnya.

Penguntitan Arnold berlatar pergolakan sosial dan politik di Papua. Ada korban sampai kebencian atas rasialisme yang disuguhkan. Namun, film tidak berikan akhir apa pun terhadap obsesi Arnold akan gadisnya.

Denias, Senandung di Atas Awan (2006)
Bisa dibilang ini film pertama yang menggugah masyarakat untuk ke Papua. Film garapan John de Rantau ini bukan cuma memiliki alur cerita yang kuat dan sangat humanis, namun juga menyuguhkan keindahan alam nan memsona.

Denias apalagi sempat masuk seleksi Piala Oscar tahun 2008. Film itu mengisahkan Denias, anak berasal dari suku pedalaman Papua yang berhasrat tinggi untuk mengenyam pendidikan. Pada cerita nyatanya, anak itu bernama asli Janias.

Denias menempuh jalur panjang, berpanas-panasan, demi ke kota dan studi di sekolah yang mirip layaknya anak berasal dari keluarga mampu. Denias dihiasi muka tenar layaknya Ari Sihasale, Nia Zulkarnaen, Marcella Zalianty, Pevita Pearce, juga Mathias Muchus.

Lost in Papua (2011)
Suku pedalaman Papua terungkap lagi dalam. Lost in Papua mengisahkan Rangga (Edo Borne) dan tim yang idamkan melacak titik penambangan di Papua. Mereka memasuki wilayah terlarang dan anggota tim hilang satu per satu.

Beberapa tahun kemudian, giliran Nadya (Fanny Fabriana), mantan tunangan Rangga, yang ke Papua karena tugas. Ia berangkat dengan David (Fauzy Baadillah), dan Kayla (Fahrani). Mereka mendapat amanah menyerahkan oleh-oleh untuk kepala suku Korowai yang pernah pernah berjasa.

Namun perjalanan itu tidak mudah. Sampai akhirnya, mereka bertemu dengan suku primitif yang semua penduduknya perempuan. Namun, ada sesuatu yang aneh dan besar mengenai suku itu.

Di Timur Matahari (2012)
Ari Sihasale lagi ke Papua. Setelah Denias, kini ia membawa Lukman Sardi dan Laura Basuki ke Pulau Cendrawasih, syuting dengan anak-anak asli Papua. Di Timur Matahari bak harapan bagi anak-anak itu, yang di awal film menanti kedatangan seorang guru yang berkenan mengajar.

Setelah enam bulan tak ada guru mengajar, Mazmur (Simson Sikoway) tak pernah lelah menanti di sebuah lapangan terbang tua. Ia tetap menghendaki ada orang lain yang berkenan tukar mengajar dirinya dan teman-temannya. Ketika tak jua ada kabar, ia menentukan menyanyi.

Kehidupan Mazmur dan kawan-kawannya yang damai itu terusik kala ayahnya terbunuh oleh bapak temannya. Perang suku pun tak terelakkan. Di akhir film, kepolosan anak-anak menjadi penyelamat saling bunuh di masyarakat Papua.

error: Content is protected !!