Pengorbanan Demi Tanah Palestina
Mahasiswa Palestina di Yogya mengaku benar-benar cemas memikirkan keluarga dan sanak saudara yang kini terlilit di sedang ketegangan pada Hamas dan Israel. Mahasiswa Palestina di Indonesia, Mohammed Albohisi, cemas hilang kontak bersama dengan keluarga di Gaza.
Tunggul Damarjati) Raut muka Mohammed Albohisi terlihat tenang dan gestur tubuhnya kalem saat bercerita betapa mencekamnya Gaza, Palestina waktu ini. Namun, ia selalu mengaku benar-benar cemas memikirkan keluarga dan sanak saudara yang kini terlilit di sedang ketegangan pada Hamas dan Israel.
Albohisi adalah mahasiswa asli Palestina, kelahiran Deir-al Balah 23 tahun silam. Si bungsu dari empat bersaudara bersama dengan keluarganya sesudah itu rubah dan menetap di pusat kota Gaza. Dia lalu kuliah di India dan sekarang mengambil kursus Bahasa Indonesia di Fakultas Imu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada, Sleman, DIY. Di sana Albohisi mengejar program magister bioteknologi setelah mendapat beasiswa pendidikan dari Pemerintah Indonesia.
“Terakhir kali saya berkomunikasi dengan keluarga saya sekitar dua hari lalu dan mereka terdengar sangat ketakutan karena situasinya buruk sekali. Mereka bilang keadaan macam ini, anda tahu, dibombardir, itu belum pernah kami alami sebelumnya,” kata Albohisi ditemui di FIB UGM, Kamis (12/10) sore.
Albohisi mengaku bersaksi atas ketegangan antara Hamas dan Israel selama lebih dari satu dekade terakhir. Desingan peluru, dentuman roket yang menghantam gedung serta rumah-rumah warga, dan blokade di kanan-kiri bagi dia pemandangan normal di Gaza yang berjuluk ‘penjara terbuka terbesar di dunia’.
Akan tetapi percakapan terakhir dengan keluarga ditambah pemberitaan di media cukup meyakinkan buat Albohisi bahwa situasi pertempuran yang sekarang jauh lebih mengerikan dan belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Malam di Gaza terasa sangat panjang. Saat malam tiba, mereka (Israel) menyerang besar-besaran. Tentara mereka memakai sejenis senjata ilegal. Memang bukan kali pertama, tapi ini terasa beda,” katanya.
Jaringan Wi-Fi terputus membuat jalur komunikasi lumpuh seluruhnya. Semuanya nyaris luluh lantak, mulai dari pemukiman, rumah sakit, menara hunian, kampus, setiap kendaraan beroda tak ada yang luput dari rudal membabibuta tentara Zionis. Tidak ada jaminan selamat bila nekat pindah tempat.
“Anda tidak tahu harus menghindar ke mana, sangat berbahaya karena (serangan) bisa datang kapan pun. Kami tahu dari pemberitaan, kami cek keluarga, teman-teman. Kami baca mereka (Israel) hancurkan ini itu dan sudah tiga hari tanpa listrik, tanpa air di sana. Rumah sakit kehabisan pasokan listrik dan bantuan dihalangi masuk ke Gaza. Akan lebih banyak korban berjatuhan,” ungkapnya.
“Situasi dulu tidak terlalu stabil atau tidak mendingan juga dan sekarang tambah buruk. Sekarang ini yang terburuk. Maksud saya, kita sedang membicarakan orang-orang yang menyaksikan banyak perang semasa hidup, tapi kali ini beda. Lebih kejam, banyak orang tak berdosa terbunuh. Dahulu pergi menjauh dari perbatasan (Palestina-Israel) bisa aman, sekarang tak ada yang aman,” sambungnya.
Sudah banyak tetangga dekat Albohisi yang jadi korban peperangan. Salah seorang guru di tempat ia bersekolah bernasib sama. Ikatan batin warga Gaza terjalin kuat meski terpisah jarak dan hubungan darah.
Tergambar di benak Albohisi wajah penuh ketakutan dan tangis judi bola online keponakan-keponakannya, anak kakak perempuannya yang tinggal di wilayah perbatasan. Melihat foto-foto korban di pemberitaan, hancur hatinya membayangkan jika itu menimpa orang-orang yang ia cintai.
“Dan bagian terburuknya adalah saya merasa tidak berdaya. Tak berdaya karena jika anda merasa tidak bisa berbuat apa-apa, anda tidak berdaya,” ucapnya.
Albohisi memikirkan betul masa depan anak-anak Palestina yang harus tumbuh besar diliputi rasa kekhawatiran. Tanpa tempat berlindung dan bernaung saat tembakan artileri militer Israel terus merundung.
“Rumah anda hancur dan seseorang menawari anda tinggal di rumah mereka dengan korban-korban lainnya, dan rumah mereka pada akhirnya juga rata dengan tanah. Haruskah mereka tinggal di jalan dan menunggu ajal menjemput, operasi militer bisa saja meluas,” ujarnya.
Ayah, ibu, dan Albohisi serta para kakaknya selama ini selalu saling menguatkan satu sama lain. Sekuat mungkin menjaga asa sepanjang bertubi-tubi menghadapi teror, diskriminasi, hingga genosida.
Dia mengklaim warga Gaza memahami jika mereka harus kehilangan suatu hal atau segala sesuatunya, maka itulah pengorbanan demi kemerdekaan atas tanah Palestina yang didambakan.
“Sejak tahun 1948 Palestina menghadapi segala macam teror genosida, diskriminasi bahkan di luar negeri, tapi kami tetap berdiri, kami tetap bangga dengan bangsa kami. Jadi saya bilang, jika itu (kehilangan anggota keluarga) terjadi, tapi saya harap itu tidak terjadi, saya rasa itu semua untuk Palestina,” ujar Albohisi.Albohisi bilang, masyarakat Palestina telah banyak melakukan pengorbanan sejak perang tahun 1948. Keluarga, tempat tinggal, nyawa, apa pun. Orang-orang di sana hanya percaya akan tiba waktunya giliran mereka.
Orang-orang Palestina bisa saja kabur mengevakuasi diri, kendati demikian kata Albohisi, sebagian besar tidak melakukannya dan memilih tetap bertahan sebelum mati di tanah kelahirannya sendiri.
Hamas mulai menyerang Israel pada Sabtu (7/10). Mereka mengklaim tujuan serangan ini untuk mengakhiri pendudukan terakhir di bumi. Pasukan Israel lalu membalas dengan melancarkan Operasi Pedang Besi yang diklaim untuk menargetkan infrastruktur Hamas di Jalur Gaza.
Serangan kedua pihak ini berlanjut dan perang bahkan makin meluas setelah Israel dan kelompok Hizbullah di Lebanon ikut saling serang. Israel bahkan beberapa kali turut melancarkan gempuran ke wilayah Suriah.
Kementerian Kesehatan Palestina per Rabu (11/10) malam mencatat setidaknya 1.100 orang tewas dan 5.339 orang lainnya terluka di Jalur Gaza, wilayah yang dikontrol Hamas dan menjadi target gempuran Israel.
Di Tepi Barat Palestina, setidaknya 27 orang meninggal dunia dan 150 orang lainnya terluka akibat gempuran Israel. Sementara itu, militer Israel melaporkan setidaknya 1.200 orang tewas di wilayahnya sejak gempuran Hamas berlangsung Sabtu akhir pekan lalu.